Perjalanan "Cat Stevens" Menjadi "Yusuf Islam" | Tuesday, September 20, 2005
Perjalanan "Cat Stevens" Menjadi "Yusuf Islam"
"Aku dilahirkan di London, jantung dunia Barat. Aku dilahirkan di era televisi dan angkasa luar. Aku dilahirkan di era teknologi mencapai puncaknya di negara yang terkenal dengan peradabannya, negara Inggris. Aku tumbuh dalam masyarakat tersebut dan aku belajar di sekolah Katholik yang mengajarkanku tentang agama Nashrani sebagai jalan hidup dan kepercayaan. Dari sini pula aku mengetahui apa yang harus kuketahui tentang Allah, al-Masih 'Alaihis-salaam dan taqdir, yang baik maupun yang buruk."
"Mereka banyak memberitahuku tentang Allah, sedikit tentang al-Masih dan lebih sedikit lagi tentang Ruhul Qudus (Jibril)."
"Kehidupan di sekelilingku adalah kehidupan materi. Paham materialis gencar diserukan dari berbagai media informasi. Mereka mengajarkan, kekayaan adalah kekayaan harta benda yang sesungguhnya, dan kefakiran adalah ketiadaan harta benda secara hakiki. Amerika adalah contoh negara kaya dan negara-negara dunia ketiga adalah contoh kemiskinan, kelaparan, kebodohan, dan kepapaan. Karena itu, aku harus memilih dan meniti jalan kekayaan, supaya aku bisa hidup bahagia; supaya aku dapat kenikmatan hidup. Karena itu, aku membangun falsafah hidup bahwa dunia tidaklah ada kaitannya dengan agama. Falsafah inilah yang aku jalani, agar aku mendapatkan kebahagiaan jiwa."
"Lalu, aku mulai melihat kepada sarana untuk meraih kesuksesan. Dan, cara yang paling mudah -menurutku- adalah dengan membeli gitar, mengarang lagu, dan menyanyikannya sendiri. Aku lalu tampil di hadapan mereka. Inilah yang benar-benar aku lakukan dengan membawa nama "Cat Stevens". Dan tidak berapa lama, yakni ketika aku berusia 18 tahun, aku telah menyelesaikan rekaman dalam delapan kaset. Setelah itu banyak sekali tawaran. Dan aku pun bisa mengumpulkan uang yang banyak. Di samping itu, pamorku pun mencapai puncak."
"Ketika aku berada di puncak ketenaran, aku melihat ke bawah. Aku takut jatuh! Aku dihantui kegelisahan. Akhirnya, aku mulai minum minuman keras satu botol setiap hari, supaya memotivasi keberanianku untuk menyanyi. Aku merasa orang-orang di sekelilingku berpura-pura puas. Padahal, dari wajah mereka, tak seorang pun tampak puas, kepuasan yang sesungguhnya. Semuanya harus munafik, bahkan dalam jual beli dan mencari sesuap nasi, bahkan dalam hidup! Aku merasa, ini adalah sesat. Dari sini, aku mulai membenci kehidupanku sendiri. Aku menghindar dari orang banyak. Aku lalu jatuh sakit. Aku kemudian diopname di rumah sakit karena sakit paru-paru. Ketika di rumah sakit kondisiku lebih baik karena mengajakku berpikir."
"Aku memiliki iman kepada Allah. Tetapi, gereja belum mengenalkanku siapakah Tuhan itu dan aku tak mampu sampai pada hakikat Tuhan sebagaimana yang dibicarakan gereja! Pikiranku buntu. Maka, aku memulai berpikir tentang jalan hidup yang baru. Aku memiliki buku-buku tentang akidah dan masalah ketimuran. Aku mencari tentang Islam dan hakikatnya. Dan seperti ada perasaan, aku harus menuju pada titik tujuan tertentu, tetapi aku tidak tahu keberadaan dan pengertiannya."
"Aku tidak puas berpangku tangan, duduk dengan pikiran kosong. Aku mulai berpikir dan mencari kebahagiaan yang tidak kudapatkan dalam kekayaan, ketenaran, puncak karir maupun di gereja. Maka aku mulai mengetuk pintu Budha dan falsafah China. Aku pun mempelajarinya. Aku mengira, kebahagiaan adalah dengan mencari berita apa yang akan terjadi di hari esok, sehingga kita bisa menghindari keburukannya. Aku berubah menjadi penganut paham Qadariyyah. Aku percaya dengan bintang-bintang, mencari berita apa yang akan terjadi. Tetapi, semua itu ternyata keliru. Aku lalu pindah kepada ajaran komunis. Aku mengira bahwa kebajikan adalah dengan membagi kekayaan alam ini kepada setiap manusia. Tetapi, aku merasa bahwa ajaran komunis tidak sesuai dengan fitrah manusia. Sebab, keadilan adalah engkau mendapat sesuai apa yang telah engkau usahakan, dan ia tidak lari ke kantong orang lain."
"Lalu, aku berpaling pada obat-obat penenang. Agar aku memutuskan mata rantai berbagai pikiran dan kebimbangan yang menyesakkan. Setelah itu, aku mengetahui bahwa tidak ada akidah yang bisa memberikan jawaban kepadaku. Yang bisa menjelaskan kepadaku hakikat yang sedang aku cari. Aku putus asa. Dan ketika itu aku belum mengetahui tentang Islam sama sekali. Maka aku tetap pada keyakinanku semula, pada pemahamanku yang pertama, yang aku pelajari dari gereja. Aku menyimpulkan bahwa kepercayaan-kepercayaan yang aku pelajari itu adalah keliru. Dan bahwa gereja sedikit lebih baik daripadanya. Aku kembali lagi kepada gereja. Aku kembali mengarang musik seperti semula. Dan aku merasa Kristen adalah agamaku. Aku berusaha ikhlas demi agamaku. Aku berusaha mengarang lagu-lagu dengan baik. Aku berangkat dari pemikirang Barat yang bergantung pada ajaran-ajaran gereja. Yakni, ajaran yang memberikan inspirasi kepada manusia bahwa dia akan sempurna seperti Tuhan jika ia melakukan pekerjaannya dengan baik serta ia mencintai dan ikhlas terhadap pekerjaannya."
"Pada tahun 1975 terjadi suatu yang luar biasa, yakni ketika saudara kandungku tertua memberiku sebuah hadiah berupa satu mushaf Alquran. Mushaf itu masih tetap bersamaku sampai aku mengunjungi al-Quds Palestina. Setelah kunjungan tersebut, aku mulai mempelajari kitab yang dihadiahkan oleh saudaraku itu. Suatu kitab yang aku tidak mengetahui apa isi di dalamnya, juga tak mengetahui apa yang dibicarakannya. Lalu aku mencari terjemahan Alquran al-Karim setelah aku mengunjungi al-Quds. Pertama kalinya, melalui Alquran aku berpikir tentang apa itu Islam. Sebab, Islam menurut pandangan orang Barat adalah agama yang fanatik dan sektarian. Dan umat Islam itu sama saja. Mereka adalah orang-orang asing, baik Arab maupun Turki. Kedua orang tua saya berdarah Yunani. Dan orang Yunani sangat benci kepada orang Turki Muslim. Karena itu, seyogyanya aku membenci Alquran yang merupakan agama dan pedoman orang-orang Turki, sebagai dendam warisan. Tetapi, aku memandang, aku harus mempelajarinya (terjemahannya). Tidak mengapa aku mengetahui isinya."
"Sejak pertama, aku merasa bahwa Alquran dimulai dengan Bismillah (dengan nama Allah), bukan dengan nama selain Allah. Dan ungkapan Bismillahirrahmanirrahiim begitu sangat berpengaruh dalam jiwaku. Lalu surat al-Fatihah itu berlanjut dengan Faatihatul Kitab, Alhamdulillahi rabbil 'alamiin. Segala puji milik Allah Sang Pencipta sekalian alam, dan Tuhan segenap makhluk. Sampai waktu itu, pemikiran saya tentang Tuhan begitu lemah tak berdaya. Mereka mengatakan kepadaku, 'Sesungguhnya Allah adalah Maha Esa, tetapi terbagi menjadi tiga dzat! Bagaimana? Saya tidak mengerti'!"
"Dan, mereka mengatakan kepadaku, "Sesungguhnya Tuhan kita bukanlah Tuhannya orang Yahudi." Adapun Alquran, maka ia mulai dengan beribadah kepada Allah Yang Maha Esa, Tuhan segenap alam semesta. Alqura menegaskan keesaan Sang Pencipta. Dia tidak memiliki sekutu yang berbagi kekuasaan dengan-Nya. Dan, ini adalah pemahaman baru bagiku. Sebelumnya, sebelum aku mengetahui Alquran, aku hanya mengetahui adanya pemahaman kesesuaian dan kekuatan yang mampu mengalahkan mu'jizat. Adapun sekarang, dengan pemahaman Islam, aku mengetahu bahwa hanya Allah semata yang mampu dan Maha Kuasa atas segala sesuatu."
"Hal itu masih dibarengi dengan keimanan terhadap hari akhir dan bahwa kehidupan akhirat itu abadi. Jadi, tidaklah manusia itu dari segumpal daging kemudian berubah setiap hari kemudian menjadi debu, sebagaimana yang dikatakan oleh ahli biologi. Sebaliknya, apa yang kita lakukan dalam kehidupan dunia ini sangat menentukan keadaan yang akan terjadi dalam kehidupan di akhirat nanti. Alquran-lah yang menyeruku kepada Islam. Maka aku pun memenuhi seruannya. Adapun gereja yang menghancurkanku dan membuatku lelah dan letih, maka dialah yang mengantarkanku kepada Alquran. Yakni, ketika aku tidak mampu menjawab berbagai pertanyaan jiwa dan kalbuku."
"Di dalam Alquran aku melihat sesuatu yang asing. Ia tidak sama dengan kitab-kitab lain. Ia tidak mengandung beberapa bagian atau sifat-sifat yang ada dalam kitab-kitab agama lain yang telah kubaca. Di sampul Alquran juga aku tidak mendapatkan nama pengarangnya. Karena itu, aku yakin betul dengan makna wahyu yang Allah wahyukan kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang diutus-Nya. Kini aku telah memahami dengan jelas betul tentang perbedaan Alquran dengan Injil yang ditulis oleh tangan-tangan pengarang yang berbeda-beda sehingga melahirkan kisah-kisah yang bertentangan. Aku berusaha untuk mencari kesalahan di dalam Alquran, tetapi aku tidak menemukannya. Semua isi Alquran adalah sesuai dengan pemikiran keesaan Allah yang murni. Dari sini, aku mulai mengenal tentang apa itu Islam."
"Alquran bukanlah satu-satunya risalah. Sebaliknya, di dalam Alquran didapatkan nama-nama semua nabi yang dimuliakan oleh Allah. Alquran tidak membeda-bedakan antara satu dengan yang lainnya. Dan teori ini sangat logis. Sebab, jika anda beriman kepada seorang nabi dan tidak kepada yang lainnya, berarti anda telah mengingkari dan menghancurkan kesatuan risalah. Dari sejak itu, aku memahami bagaimana berantainya risalah sejak awal penciptaan manusia. Dan bahwa manusia sepanjang sejarah selalu terdiri dari dua barisan, mu'min dan kafir. Alquran telah menjawab semua hal yang kupertanyakan. Dengan demikian, aku merasa bahagia. Kebahagiaan mendapatkan kebenaran."
"Aku mulai membaca Alquran semuanya, sepanjang satu tahun penuh. Aku mulai menerapkan pemahaman yang aku baca dari Alquran. Saat itu aku merasa bahwa akulah satu-satunya muslim di muka bumi ini. Lalu aku berpikir bagaimana aku menjadi muslim yang sesungguhnya. Maka aku pergi ke masjid London dan aku mengumumkan keislamanku. Aku mengatakan, 'Asyhadu anlaa ilaaha illallaah wa asyhadu anna Muhammadan rasuulullaah'."
"Ketika itu, aku yakin bahwa Islam yang kupeluk adalah risalah yang berat, bukan suatu pekerjaan yang selesai dengan sekedar mengucapkan dua kalimat syahadat. Aku telah dilahirkan kembali. Dan aku telah mengetahui ke mana aku berjalan bersama saudara-saudara muslimku yang lainnya. Sebelumnya, aku sama sekali tidak pernah menemui salah seorang dari mereka. Seandainya pun ada seorang muslim yang menemuiku dan mengajakku kepada Islam, tentu aku menolak ajakkannya, karena keadaan umat Islam yang diremehkan dan diolok-olok oleh media informasi Barat. Bahkan, media umat Islam sendiri sering mengolok-olok hakikat Islam. Mereka justru sering mendukung berbagai kedustaan dan kebohongan yang dilontarkan oleh musuh-musuh Islam, padahal mereka ini tidak mampu memperbaiki bangsa mereka sendiri yang kini telah dihancurkan oleh penyakit-penyakit akhlak, sosial, dan sebagainya."
"Aku telah mempelajari Islam dari sumbernya yang utama, yaitu Alquran. Selanjutnya, aku mempelajari sejarah hidup (sirah) Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Bagaimana beliau dengan perilaku dan sunnahnya mengajarkan Islam kepada umat Islam. Aku lalu mengetahui kekayaan yang agung dari kehidupan dan sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Aku sudah lupa musik. Aku bertanya kepada kawan-kawanku, "Apa aku mesti melanjutkan karir musikku?" Mereka menasihatiku agar aku berhenti, sebab musik akan melalaikan dari mengingat Allah. Dan itu bahaya besar. Aku menyaksikan pemuda-pemudi yang meninggalkan keluarga mereka dan hidup di tengah-tengah musik dan lagu. Ini adalah sesuatu yang tidak diridhai oleh Islam, yang menganjurkan dibangunnya generasi-generasi tangguh."
Itulah sekilas kisah islamnya seorang penyanyi terkenal dari Inggris. Ia setelah memeluk Islam mengubah namanya menjadi Yusuf Islam. Allah telah mengganti segala yang ia dapatkan dari musik yang kemudian dia tinggalkan dengan hidayah iman kepada-Nya yang tak dapat dibandingkan dengan apa pun jua.
Al-Islam - Pusat Informasi dan Komunikasi Islam Idonesia
*************************
Created at 3:20 PM
*************************
Hukum Oposisi Dalam Islam | Saturday, February 12, 2005
Hukum Oposisi dalam Islam
Oposisi dalam bahasa Inggris; opposition. Dalam bahasa Latin: oppositus, opponere, (memperhadapkan, membantah, menyanggah, menentang) menurut pakar hukum dan politik diartikan sebagai kubu partai yang mempunyai pendirian bertentangan dengan garis kebijakan kelompok yang menjalankan pemerintahan. Oposisi bukan musuh, melainkan sparing patner dalam percaturan politik.
Dalam demokrasi, oposisi dianggap sesuatu yang sangat diperlukan, sehingga oposisi dalam parlemen melembaga secara resmi. Sebab oposisi menjalankan suatu fungsi yang sangat vital dan penting yaitu check and balances, mengontrol pemerintah yang didukung mayoritas, menguji kebijakan pemerintah dengan menunjukkan titik-titik kelemahannya, mengajukan alternatif. (Lihat, B.N. Marbun, SH., dalam Kamus Politik, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta,1996, hal. 455-456, John M. Echols dan Hasan Shadili dalam Kamus Inggris-Indonesia, Gramedia, Jakarta, 1992, hal. 407, Lorens Bagus dalam Kamus Filsafat, Gramedia, Jakarta 1996, hal. 754)
Dalam wacana politik Islam, oposisi (mu'aradhah) ditinjau dari dua aspek; doktrin kultural dan institusi struktural. Aspek doktrin kultural, menekankan bahwa oposisi bukan sekedar hak asasi, melainkan juga suatu kewajiban syari'ah dan tanggung jawab moral.
Seluruh nash (teks) al-Quran dan Sunnah Nabi serta arahan para Khulafa Rashidun membawa kepada konsekuensi logis mendorong umat Islam kepada sikap oposisi yang loyal (loyal opposition), konstruktif dan reformatif.
Karena, fokus dasar perintah syari'ah adalah Amar Ma'ruf dan Nahi Mungkar (memerintahkan kebaikan dan mencegah kemungkaran) yang diistilahkan oleh Imam Ghozali dalam Ihya 'Ulumuddin (vol. II/265) sebagai 'top sentral ajaran Islam' (al-Quth al-A'dzam Liddin) yang ditengarai oleh Saefuddin AF. Ismail telah dihapuskan dari konteks budaya politik praktis kontemporer dan hanya terbatas pada seruan dan himbauan moral sosial. (Tajdid Siyasi, hal. 364)
Berbagai krisis peradaban umat Israel bahkan menjadi bangsa terkena kutukan Allah, adalah karena mereka meninggalkan tugas penting kontrol moral ini. Allah Berfirman: "Mereka satu sama lain tidak saling melarang tindakan munkar yang mereka perbuat. Sesungguhnya amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu". (QS.Al-Maidah:79)
Ini kebalikan watak Islam yang menjadikan amar ma'ruf dan nahi mungkar sebagai budaya dan mental umatnya sebagai modal pembentukan masyarakat madani berjaya yang Khairu Ummah (QS. Ali Imran:104, 110)
Karenanya, Nabi saw dalam berbagai haditsnya senantiasa memperingatkan umatnya untuk tidak mendiamkan apalagi melegitimasi kemungkaran, bahkan beliau mendorong umat Islam untuk siap berdiri di garda terdepan dalam perjuangan menentang segala bentuk kedzaliman.
Malik bin Nabi, filosuf Al-Jazair mengomentari hadits "Barang siapa diantara kalian yang melihat kemungkaran, hendaklah merubahnya dengan tangannya, bila tidak mampu dengan lisannya, bila tidak mampu dengan hatinya, dan itu selemah-lemah iman." (HR. Muslim, Ashab Sunan, Ahmad) mengatakan bahwa misi setiap muslim bukan sekedar mennjadi penonton dan pengamat terhadap realitas sejarah, akan tetapi berperan merubah alur peristiwa dengan mengembalikannya kepada jalur kebaikan seoptimal mungkin.(Tajdid Siyasi:72)
Pengalaman historis menurut sejarawan Inggris, Lord Action membuktikan bahwa manusia yang mempunyai kekuasaan cenderung menyalahgunakan kekuasaannya, dan manusia yang mempunyai kekuasaan tak terbatas pasti akan bersikap otoriter dan menyalahgunakannya. Oleh karenanya perlu dibatasi yakni dengan kontrol hukum dan pembatasan kekuasaan yang disemangati amar maruf nahi mungkar sesuai dengnan prinsip dasar sharing of power dan checkand balances. Nabi SAW bersabda: "Kalian benar-benar serius melakukan amar makruf nahi mungkar atau Allah benar-benar akan kuasakan orang-orang jahat atas kalian, lalu orang-orang terbaik kalian berdoa (istighotsah) dan tidak akan dikabulkan." (HR.Tirmidzi, Tabrani, Bazzar)
"Penghulu para syuhada adalah Hamzah bin Abdul Muthalib dan orang yang menghadapi penguasa lalim dengan memerintahkan kebaikan dan mencegahnya dari kemungkaran, lalu penguasa itu membunuhnya." (HR. Hakim) Bahkan Nabi menganggap keberanian sikap mengemukakan kebenaran kepada penguasa lalim merupakan jihad paling utama. "Menyatakan kebenaran kepada penguasa yang lalim merupakan jihad yang paling utama." (HR. Ibnu Majah)
Dalam implemnetasinya, para sahabat bersama Rasulullah Saw dan generasi salaf sangat komit dengan doktrin oposisi yang dijiwai semangat amar ma'ruf nahi munkar ini, dan hal itu bukan menjadi hal yang tabu serta asing bagi budaya sosial politik mereka. Abu Bakar Ash-Shiddiq sebagai pemerintah pertama sepeninggal Nabi Saw, adalah pelopor gerakan oposisi rakyat terhadap pemerintah dalam mengawasi roda pemerintahan, mengevalusuasi dan meluruskannya. Dalam pidato pengangkatannya setelah dibai'at rakyat sebagai khalifah beliau berkata: "Sesungguhnya aku telah diangkat sebagai pemerintah kalian dan saya mengakui bukan orang terbaik kalian. Maka jika saya berbuat baik dan bijak, hendaklah kalian dukung. Jika saya berbuat jelek, hendaklah kalian luruskan." (Ibnu Katsir, Al-Bidayah wan Nihayah, vol.VI/264.
Demikian halnya Amirul Mukminin, Umar bin Khathab menyerukan: "Wahai rakyatku, siapapun yang melihat penyimpangan pada diriku, maka hendaklah ia meluruskannya." (Abdul Aziz Badri, Al-Islam bainal 'Ulama wal Hukkam, hal. 59)
Semua itu bukan retorika dan basa-basi politik, tetapi benar-benar terimplementasi secara konsekuen. Pada saat umat Islam membebaskan daerah Irak, Syam dan Mesir pada masa kekhalifahan Umar bin Khathab, timbullah gerakan oposisi di kalangan militer yang ikut membebaskan daerah tersebut terhadap kebijakan Umar tentang otonomi dan eksistensi daerah pembebasan yang tidak akan dibagikan kepada pasukan pembebasan mengingat proyeksi ke depan. Dengan sabar dan bertawakal kepada Allah akhirnya masalah tersebut dapat diselesaikan dengan damai dan mufakat.
Begitu Abu Bakar dibaiat sebagai Khalifah, sebagian sahabat menolak untuk memberikan baiat dan ikut dalam pemerintahannya serta memilih menjadi oposisi diantaranya adalah Saad bin Ubadah. Dan hal itu dilindungi oleh Abu Bakar. (Lihat, Dr. Muhammad Ammarah dalam Al-Islam wal Muaradhah As-Siyasiyah, pada majalah Al-Arabi, edisi Nopember 1992)
Bahkan dalam prakteknya, barisan oposisi justru kerap dipelopori oleh tokoh ulama besar yang sadar politik dan menjaga independensi institusi keulamaan untuk tetapo dipercaya umat sebagai panutan yang membendung arus sekulerisasi dalam pemerintahan. Diantaranya adalah Said bin Musayyib di Madinah, sebagaimana diriwayatkan ahli sejarah Islam klasik Adz-Dzahabi, dimana beliau menolak kesertaan dalam pemerintahan dan memberikan baiah kepada Abdul Malik bin Marwan pada masa pemerintahan Umawiyah. Meskipun sempat disiksa dengan 60 kali cambukan, dan pada kesempatan lain ditawari insentif serta suap 30.000 dinar, namun beliau tetap konsisten menolak untuk menjadi kroni pemerintah.
Suatu kali Umar bin Hubairah seorang gubernur pada masa pemerintahan Yazid bin Abdul Malik, memanggil para ulama seperti Hasan Al-Basri, Ibnu Sirin dan Syabi. Dia meminta fatwa berkitan dengan instruksi Yazid yang serba dilematis diungkapkannya: "Jika saya melaksanakannya, saya takut akan merusak imanku. Namun jika saya menolak saya mengkhawatirkan keamanan diriku." Maka para ulama itu menasehatinya dengan lembut dan berpesan agar tetap komitmen dalam ketakwaan kepada Allah dan menentang penguasa yang menyimpang dari kebenaran.
Imam Ghazali dalam Ihya-nya (vol.II/295) banyak mengungkap mentalitas elit umat dan ulama yang tetap konsisten bersikap oposisi dan menjaga jarak agar dapat mengontrol eksekutif diantaranya adalah sikap tegas Thawus Al-Yamani terhadap penguasa Hisyam bin Abdul Malik, Sufyan Tsauri terhadap Abu Jafar Al-Manshur, Fudhail bin Iyyadh terhadap Harun Ar-Rasyid yang terang-terangan mengatakan kepadanya: "Jauhilah korupsi terhadap hak rakyat, karena Rasulullah saw bersabda: "Barang siapa yang menipu rakyat tidak akan mencium bau surga"
Demikian pula sikap oposisi loyal Abu Yusuf terhadap Harun Ar-Rasyid yang memberikan alternatif kebijakan fiskal yang islami kepadanya, seraya menasehatinya untuk takut kepada Allah dalam amanat dan hak rakyat.", disamping itu nama-nama Abdullah bin Zubair, Imam Nawawi, Al-Izz bin Abdus Salam, dan Ibnu Taimiyah terkenal sebagai tokoh barisan oposisi dari kalangan ulama dari berbagai generasi.
Persolannya adalah dalam realitas politik kita, implementasi wacana oposisi perlu adanya reposisi dan reaktualisasi yang terkait dengan kelembagaan. Sebab, terjadi semacam ambiguitas makna legislatif yang harusnya semua anggota dewan legislatif bersikap oposisi terhadap eksekutif karena itu sudah menjadi fungsinya, tidak perlu dikotomi, yang duduk di parlemen dari unsur dan partai manapun entah yang berkuasa ataupun tidak berkuasa. Idealnya adalah partai yang berkuasa cukup menjadi MPR di samping duduk di eksekutif pemerintahan, bila tidak mau menjadi oposisi di legislatif. Sehinggga, DPR adalah sebagai perwujudan institusional struktural bagi barisan oposisi eksekutif yang berfungsi mengontrol, mengawasi dan meluruskan kebijakan pemerintah. (Lihat, Prof. Miriam Budiarjo dalam Dasar-Dasar Ilmu Politik dan Inu Kencana dalam Pengantar Ilmu Pemerintahan)
Adapun etika oposisi yang harus dipegang oleh semua pihak adalah etika amar maruf dan nahi mungkar, di samping etika perbedaan mendapat (Fiqhul Ikhtilaf). Karena, tujuan oposisi adalah meluruskan, memberikan in-put posistif dan memperbaiki, bukan menjatuhkan. Diantara landasan moral oposisi adalah sebagaimana yang dirangkum Yusuf Al-Qardhawi dalam Fiqh Ikhtilaf-nya (hal. 181) dan oleh Imam Ghozali dalam Ihya-nya (vol.II/270) adalah:
Ikhlas karena Allah serta demi kemaslahatan umat dan bangsa bukan karena nafsu. Meninggalkan fanatisme terhadap individu, partai maupun golongan. Berprasangka baik dan positif thinking terhadap orang lain. Tidak menyakiti dan mencela Menjauhi debat kusir dan ngotot tanpa argumentasi logis. Dialog dengan cara sebaik-baiknya. Bersikap adil dalam menilai dan bersikap Memperhatikan skala prioritas (strata bobot penting masalah) masalah dan memakai fiqh muwazanah (Pertimbangan masak sisi maslahat dan madharat). Mengedepankan persatuan dan menjauhi perpecahan Arif, dewasa dan bijaksana serta mampu mengontrol emosi (QS.AN-Nahl:125)
Wallahu Alam wa Billahit Taufiq wal Hidayah.
SyariahOnline
*************************
Created at 2:47 PM
*************************
Bahaya Ghibah dan "ngerumpi'' | Sunday, January 30, 2005
Bahaya Ghibah dan "ngerumpi"
Menggosip adalah tindakan yang paling dibenci Allah. Tapi celakanya, kebiasaan ini justru disukai banyak orang, baik di kantor, ditempat kerja atau bahkan di rumah. Terurama kalangan ibu-ibu
Banyak hal yang bergeser dan berubah dengan hadirnya pesawat televisi ke rumah kita, terutama yang berkaitan dengan budaya dan akhlak. Salah satu yang jelas terlihat yaitu pergeseran makna bergunjing atau menggosip.
Menggosip adalah tindakan yang kurang terpuji yang celakanya, kebiasaan ini seringkali dilekatkan pada sifat kaum wanita. Dulu, orang akan tersinggung jika dikatakan tukang gosip. Seseorang yang ketahuan sedang menggosip biasanya merasa malu. Namun, sekarang kesan buruk tentang menggosip mungkin sudah mengalami pergeseran.
Beberapa acara informasi kehidupan para artis atau selebritis yang dikemas dalam bentuk paket hiburan atau infotainment dengan jelas-jelas menyebut kata gosip sebagi bagian dari nama acaranya. Bahkan pada salah satu dari acara tersebut pembawa acaranya menyebut dirinya atau menyapa pemirsannya dengan istilah biang gosip. Mereka dengan bangganya mengaku sebagai tukang gosip.
Saat ini hampir di setiap stasiun televisi memiliki paket acara seperti di atas. Bahkan satu stasiun ada yang memiliki lebih dari satu paket acara infotainment tersebut, dengan jadwal tayangan ada yang mendapat porsi tiga kali seminggu. Hampir semua isi acara sejenis itu, isinya adalah menyingkap kehidupan pribadi para selebritis. Walhasil, pemirsa akan mengenal betul seluk beluk kehidupan para artis, seolah diajak masuk ke dalam rumah bahkan kamar tidur para artis..
Sepintas acara ini terkesan menghibur. Seorang ibu yang kelelahan setelah menyelesaikan pekerjaan rumah tangganya mungkin akan terasa terhibur dengan sajian-sajian sisi-sisi kehidupan pribadi orang-orang terkenal. Apalagi kemasan acara yang semakin bervariasi ada yang diselingi nyanyi, wawancara langsung dengan artis, daftar hari ulang tahun para selebritis, dll. Namun jika kita cermati lebih jauh, isinya kurang lebih adalah menggosip atau bergunjing.
Sejak awal tahun 2002 ditandai dengan banyaknya artis yang pisah ranjang dan bercerai. Peristiwa-peristiwa semacam ini merupakan sasaran empuk bagi penyaji hiburan semacam ini. Pemirsa disuguhi sajian informasi yang sarat dengan pergunjingan. Masing-masing pihak merasa benar dan tentu saja menyalahkan pihak lainnya.
Menggosip yang merupakan tindakan buruk, bisa tidak terasa lagi memiliki konotasi buruk jika terus-menerus disosialisasikan dengan paket menarik pada televisi. Menggosip akan terasa sebagai tindakan biasa dan lumrah dilakukan. Menceritakan aib orang lain menjadi sesuatu yang tanpa beban kita lakukan. Padahal jika kita cermati makna gosip -yang sama dengan ghibah- barangkali kita akan merasa ngeri.
Ghibah dalam Islam
Ghibah atau gosip merupakan sesuatu yang dilarang agama. Apakah ghibah itu? Tanya seorang sahabat pada Rasulullah SAW. Ghibah adalah memberitahu kejelekan orang lain! jawab Rasul. Kalau keadaaannya memang benar? Tanya sahabat lagi. Jika benar itulah ghibah, jika tidak benar itulah dusta! tegas Rasulullah. Percakapan tersebut diambil dari HR Abu Hurairah.
Dalam Al Qur'an (QS 49:12), orang yang suka menggibah diibaratkan seperti memakan bangkai saudaranya sendiri. Jabir bin Abdullah ra. Meriwayatkan Ketika kami bersama Rasulullah SAW. Tiba-tiba tercium bau busuk yang menyengat seperti bau bangkai maka Rasul pun bersabda, Tahukah kalian, bau apakah ini? Inilah bau dari orang-orang yang meng-ghibah orang lain. (HR Ahmad)
Dalam hadits lain dikisahkan bahwa Rasulullah pernah bersabda, Pada malam Isra mi'raj, aku melewati suatu kaum yang berkuku tajam yang terbuat dari tembaga. Mereka mencabik-cabik wajah dan dada mereka sendiri. Lalu aku bertanya pada Jibril Siapa merka? Jibril menjawab, Mereka itu suka memakan daging manusia, suka membicarakan dan menjelekkan orang lain, mereka inilah orang-orang yang gemar akan ghibah! (dari Abu Daud yang berasal dari Anas bin Malik ra).
Begitulah Allah mengibaratkan orang yang suka menggibah dengan perumpamaan yang sangat buruk untuk menjelaskan kepada manusia, betapa buruknya tindakan ghibah.
Banyak kesempatan bagi ibu-ibu untuk menggosip. Pada saat berbelanja mengelilingi gerobak tukang sayur, menyuapi anak di halaman, pada acara arisan atau kumpulan ibu-ibu. Menggibah kadang mendapat pembenaran dengan dalih, Ini fakta, untuk diambil pelajarannya!. Padahal di balik itu kurang lebih mungkin lebh banyak factor ghibahnya daripada pelajarannya.
Benarkah orang cenderung suka mengghibah, bahkan terkesan menikmati kebiasaan seperti ini? Menurut seorang pengasuh konsultasi keluarga pada sebuah media cetak, mengatakan rahasia mengapa rubriknya tetap disukai pembaca selama puluhan tahun. Katanya, pada diri manusia itu cenderung terdapat sifat suka menggunjingkan orang lain. Orang cenderung ingin tahu masalah yang terjadi pada orang lain. Dengan demikian ia akan merasa beruntung tidak seperti orang lain atau tidak dirinya saja yang menderita. Karena umumnya surat yang datang untuk berkonsultasi adalah mereka yang memiliki masalah.
Jika demikian kebanyakan sifat dari manusia, tentunya kita harus sering melakukan istighfar. Syaitan dengan mudahnya mempengaruhi kebanyakan hati kita sehingga mungkin kita tengah menumpuk dosa akibat pergunjingan.
Setiap orang mempunyai harga diri yang harus dihormati. Membuat malu seseorang adalah perbuatan dosa. Tiada seseorang yang menutupi cacat seseorang di dunia, melainkan kelak di hari kiamat Allah pasti akan menutupi cacatnya (HR. Muslim).
Sosialisasi pergunjingan di televisi bagaimanapun harus dihindari. Jangan sampai kita merasa tidak berdosa melakukannya. Bahkan merasa terhibur dengan informasi semacam itu. Kita mesti berhati-hati. Bahaya ghibah harus senantiasa ditanamkan agar kita senantiasa sadar akan bahayanya. Benar kiranya jika dikatakan bahwa dulu orang tinggal di dalam rumah karena menghindari bahaya dari luar. Kini bahaya justru berasal dari dalam rumah sendiri yaitu dengan hadirnya acara yang menurunkan kualitas iman di televisi.
Tips Menghindar Diri Dari Ghibah
Penyakit yang satu ini begitu mudahnya terjangkit pada diri seseorang. Bisa datang melalui televisi, bisa pula melalui kegiatan arisan, berbagai pertemuan, sekedar obrolan di warung belanjaan, bahkan melalui pengajian. Untuk menghindarinya juga tak begitu mudah, mengharuskan kita ekstra hati-hati
1. Berbicara Sambil Berfikir
Cobalah untuk berpikir sebelum berbicara, perlukah saya mengatakan hal ini? dan kembangkan menjadi, apa manfaatnya ? Apa mudharatnya?. Berarti, otak harus senantiasa digunakan, dalam keadaan sesantai apapun. Seperti Rasulullah saw, yang biasanya memberi jeda sesaat untuk berfikir sebelum menjawab pertanyaan orang.
2. Berbicara Sambil Berzikir
Berzikir di sini maksudnya selalu menghadirkan ingatan kita kepada Allah SWT. Ingatlah betapa buruknya ancaman dan kebencian Allah kepada orang yang ber-ghibah. Bawalah ingatan ini pada saat berbicara dengan siapa saja, dimana saja dan kapan saja.
3. Tingkatkan rasa Percaya Diri
Orang yang tidak percaya diri, suka mengikut saja perbuatan orang lain, sehingga ia mudah terseret perbuatan ghibah temannya. Bahkan ia pun berpotensi menyebabkan ghibah, karena tak memiliki kebanggaan terhadap dirinya sendiri sehingga lebih senang memperhatikan, membicarakan dan menilai orang lain
4. Buang Penyakit Hati
Kebanyakan ghibah tumbuh karena didasari rasa iri dan benci, juga ketidakikhlasan menerima kenyataan bahwa orang lain lebih berhasil atau lebih beruntung daripada kita. Dan kalau dirinya kurang beruntung, diapun senang menyadari bahwa masih banyak orang lain yang lebih sengsara daripaad dirinya.
5. Posisikan Diri
Ketika sedang membicarakan keburukan orang lain, segera bayangkan bagaimana perasaan kita jika keburukan kita pun dibicarakan orang. Seperti hadis yang menjanjikan bahwa Allah akan menutupi cacat kita sepanjang kita tidak membuka cacat orang lain, sebaliknya tak perlu heran jika Allah pun akan membuka cacat kita di depan orang lain jika kita membuka cacat orang.
6. Hindari, ingatkan, diam atau pergi
Hindarilah segala sesuatu yang mendekatkan kita pada ghibah. Seperti acara-acara bernuansa ghibah di televisi dan radio. Juga berita-berita koran dan majalah yang membicarakan kejelekan orang.
Jika terjebak dalam situasi ghibah, ingatkanlah mereka akan kesalahannya. Jika tak mampu, setidaknya anda diam dan tak menanggapi ghibah tersebut. Atau anda memilih hengkang dan menyelamatkan diri. (Ida S Widayati, penulis tetap rubrik Jendela Keluarga Majalah Hidayatullah)
*************************
Created at 10:19 PM
*************************
|
|
welcome
hello
MENU
HOME
Cinta Ku
Cinta - Al- Qur'an & Hadist
Cinta - Artikel
Cinta - Berita
Cinta - Busana & Perkawinan
Cinta - Cerita
Cinta - Doa
Cinta - Kecantikan
Cinta - Kesehatan
Cinta - Liputan Khusus
Cinta - Masakan & Minuman
Cinta - Musik
Cinta - Muslimah
Cinta - Puisi
Cinta - Rukun Iman & Islam
Links
Archieve
January 2005[x] February 2005[x] September 2005[x]
|
|